[PENGARUH
KUALITAS HFO
TERHADAP KINERJA MESIN]
PLTD
Trisakti, Sektor Barito. Banjarmasin, Desember 2010.
Latar Belakang
Heavy
Fuel Oil (HFO) adalah salah satu jenis BBM yang dapat digunakan
pada mesin diesel SWD 9TM. Tipe HFO adalah BBM residual yang terlihat pada
warna yang hitam pekat, biasanya menghasilkan asap yang lebih gelap dari hasil
pembakarannya, dan bersifat kental, sehingga harus dipanaskan terlebih dahulu
sebelum dapat digunakan. HFO juga biasanya mengandung polutan yang relatif
lebih tinggi dari jenis BBM yang lain. Salah satu contoh polutan tersebut
adalah sulfur, yang nantinya akan membentuk sulfur dioksida (SO2) pada saat
pembakaran. Karena banyaknya polutan yang tidak dikehendaki tersebut dan
perlunya proses persiapan sebelum HFO dapat digunakan, maka HFO memiliki harga
jual yang relatif lebih rendah dibandingkan BBM jenis lain.
Karena sifat
HFO tersebut, maka
diperlukan pengamatan pada
beberapa parameternya,
sehingga kinerja mesin
tidak terganggu. Parameter
tersebut perlu dibandingkan
dengan spesifikasi yang disarankan oleh buku manual mesin SWD 9TM, spesifikasi dari Pertamina, dan
spesifikasi yang disarankan oleh beberapa literatur lainnya. Kemudian parameter
aktual HFO yang
digunakan mesin akan
diteliti masing-masing
komponennya agar diketahui kekurangan HFO tersebut dan proses persiapan HFO
dapat lebih disempurnakan lagi.
Pada
PLTD Trisakti di Kota Banjarmasin, khususnya pada mesin SWD 9TM, HFO sudah
digunakan sebagai bahan bakar utama sejak proyek MFOnisasi (MFO/ Marine Fuel Oil adalah istilah lain
untuk HFO) yang dilaksanakan pada tahun 2007. Proyek ini juga termasuk
menambah sistem persiapan
HFO di dalam
plant pembangkit listrik.
Namun seiring dimulainya
penggunaan mesin pembangkit dengan bahan bakar HFO, frekuensi terjadinya
gangguan menjadi lebih banyak bila dibandingkan saat masih menggunakan HSD.
Selain pemeriksaan material mesin,
perlu juga dilakukan
pengamatan terhadap HFO yang
digunakan, karena dikhawatirkan parameter yang dianjurkan oleh produsen mesin
tidak tercapai.
Dari pemeriksaan HFO akan diketahui apakah parameter
tersebut telah tercapai atau tidak. Apabila ternyata HFO yang digunakan tidak
memenuhi kriteria yang dianjurkan, maka perlu
dilakukan langkah-langkah perbaikan
sehingga kinerja mesin
tidak terganggu. Pemeriksaan yang
dilakukan pada tulisan ini antara lain meliputi pemeriksaan komposisi HFO
aktual yang dipakai dan perbandingannya dengan komposisi dari
literatur-literatur yang
sesuai,
pemeriksaan sistem persiapan HFO, dan pemeriksaan berdasarkan gangguan yang
sering terjadi pada mesin.
Tujuan
-
|
Mengamati
komposisi HFO aktual dan dibandingkan dengan komposisi HFO dari
|
beberapa
literatur
|
|
-
|
Menguraikan
masalah yang mungkin terjadi apabila komposisinya melebihi batasan
|
yang
dianjurkan
|
|
-
|
Memberikan langkah-langkah perbaikan
agar kualitas HFO
dapat lebih terjaga
|
sehingga
tidak mengganggu kinerja mesin
|
|
Dasar Teori
Heavy Fuel Oil (HFO)
Produk minyak, secara umum (baik
minyak diesel, minyak pelumas, LFO/ Light Fuel Oil, atau HFO/ Heavy Fuel Oil), terdiri dari dua elemen utama,
karbon dan hidrogen. Kombinasi dari dua elemen itu disebut hidrokarbon.
Hidrokarbon merupakan penyusun utama minyak mentah dari berbagai formasi
geologi di seluruh dunia.
Tipikal penyulingan minyak mentah modern
Minyak mentah terdiri dari spektrum
hidrokarbon yang luas, dari jenis yang paling ringan (berbentuk gas) hingga
jenis residu yang berat. Residu yang berat tersebut berasal dari sisa proses
penyulingan. Hidrokarbon ringan dan beberapa hidrokarbon jenis lain diekstrak
dari minyak mentah melalui proses penyulingan. Proses serupa juga digunakan
untuk menyuling residu hidrokarbon menjadi hidrokarbon yang memenuhi kriteria
pasar. Rantai hidrokarbon yang biasanya ditemukan di dalam MFO/ Marine Fuel Oil terdiri dari
empat kelas utama, paraffinic, aromatic, naphthenic, dan olefinic.
Selain
menjadi sumber dari berbagai hidrokarbon yang terkandung di dalam bahan bakar
yang energinya digunakan saat pembakaran di dalam mesin diesel, minyak mentah
juga menjadi sumber
dari properti lain
yang dihasilkan melalui
proses penyulingan.
Kontaminan-kontaminan itu akan terkonsentrasi di dalam HFO yang telah melalui
proses penyulingan secara intensif.
Kontaminan lain dan properti
yang berhubungan langsung dengan minyak mentah antara lain sulfur, vanadium,
nikel, kandungan abu, dan pour
point. Tingkatan kontaminankontaminan tersebut dapat digunakan untuk
melacak asal minyak mentah.
Kontaminan lain dan properti
yang berhubungan dengan proses penyulingan yang dilakukan pada minyak mentah
antara lain spesific gravity,
viskositas, Kandungan aspal (ashphaltene),
sedimen, kandungan air, titik nyala, kompatibilitas, dan sodium.
Kualitas bahan
bakar dapat mempengaruhi kinerja,
pengoperasian, dan pemeliharaan
mesin diesel. Agar pengaruh bahan bakar tersebut dapat dipahami dengan baik,
diperlukan pemahaman terhadap karakteristik, properti, dan kontaminan yang
dapat mempengaruhi pengoperasian mesin diesel; penanganan sistem bahan bakar,
dan sistem persiapan bahan bakar.
Mesin diesel memiliki
tingkat sensitivitas terhadap
beberapa properti bahan bakar
yang lebih tinggi
dibandingkan tingkat sensitivitas boiler uap. Berdasarkan buku Note on Heavy Fuel Oil yang
diterbitkan ABS, properti bahan bakar adalah karakteristik yang dihasilkan
secara alami dari sumber minyak mentah dan juga merupakan hasil dari proses
penyulingan yang telah dilalui oleh bahan bakar tersebut. Kontaminan
adalah materi asing
yang terbawa pada
bahan bakar karena
proses penyulingan, transportasi,
atau saat penyimpanan. Properti dan kontaminan tersebut akan dibahas pada
bagian selanjutnya dalam tulisan ini beserta pengaruhnya.
Properti Penting pada HFO
1.
Viskositas
HFO biasanya
dibeli berdasarkan batasan
nilai viskositas. Walaupun
begitu, nilai viskositas tidak
berhubungan dengan tingkat kualitas HFO, namun lebih berhubungan langsung
terhadap sistem pemanas dan penanganan bahan bakar. Hal ini dikarenakan HFO
harus dipanaskan terlebih dahulu agar mencapai nilai viskositas injeksinya
untuk mengoptimalkan pembakaran dan kinerja mesin.
2.
Specific gravity
Specific gravity dapat
didefinisikan dalam persamaan berikut:
Massa jenis HFO
Specific gravity
|
|
|
|
|
Massa jenis air
|
Kedua
massa jenis tersebut diukur pada temperatur yang sama (15 derajat celcius).
Dari hasil perhitungan itu, akan didapatkan nilai specific gravity. Nilai ini, pada kasus HFO,
berhubungan langsung dengan proses pemisahan kandungan air dari HFO, karena di
PLTD Trisakti proses separasi ini didasarkan pada perbedaan massa jenis dari
dua substansi yang ingin dipisahkan. Sehingga apabila nilai specific gravity mendekati
nilai 1, maka proses separasi sentrifugal akan menjadi tidak efektif. Pada HFO
yang memiliki nilai specific
gravity yang tinggi, perlu dilakukan penambahan kapasitas
separasinya. Nilai specific
gravity yang tinggi
mengindikasikan bahan bakar
dengan kualitas pembakaran yang
rendah, yang dapat mengakibatkan keausan yang tidak normal pada liner (efek ini sering terjadi pada
mesin diesel kecil berkecepatan tinggi).
Proses pemanasan pada HFO
sebelum separasi dapat membantu proses pemisahan dengan air, karena massa jenis
HFO lebih sensitif terhadap perubahan temperatur dibandingkan dengan massa
jenis air. Nilai viskositas yang lebih rendah juga dapat membantu proses
separasi sentrifugal. Batas maksimal specific gravity yang baik bagi proses separasi
sentrifugal adalah sebesar 0,991 (pada 15 derajat celcius).
3.
Kualitas pengapian (ignition quality)
Nilai
kualitas pengapian bahan bakar sangat bervariasi. Kualitas pengapian yang
rendah dapat mengakibatkan permasalahan pada saat proses penyalaan mesin
(terutama saat proses start dingin) dan saat operasi dengan beban rendah.
Kualitas pengapian yang rendah dapat mengakibatkan keterlambatan pengapian yang
panjang dan juga dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan secara
cepat serta tekanan
maksimum yang sangat tinggi.
Deposit di atas piston, pada katup exhaust, di dalam sistem exhaust, ring nosel
turbin, dan pada
sudu turbin dapat
terjadi. Karena deposit
pada sistem turbocharger tersebut,
efisiensinya akan merendah dan beban termal mesin akan meningkat. Salah satu
cara mengukur nilai kualitas pengapian adalah menghitung perhitungan calculated carbon aromaticity index (CCAI) yang didasarkan pada nilai massa jenis
dan viskositas bahan bakar:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t
|
|
273
|
|
CCAI D
|
|
140.7 log(log(
|
V
|
|
0.85))
|
|
80.6
|
|
210 ln
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
323
|
|
|
D
= massa jenis pada 15°C (kg/m3) V = viskositas (cST)
t
= temperatur viskositas (°C)
Nilai
CCAI normal biasanya berkisar antara 800 hingga 880. Semakin rendah nilainya,
maka semakin baik kualitas pengapiannya. Bahan bakar dengan nilai CCAI melebihi
880 biasanya sering bermasalah dan bahkan sebaiknya tidak digunakan pada mesin
diesel. Kualitas pengapian ini
terutama dapat mengakibatkan
masalah bagi mesin
diesel berkecepatan sedang dan tinggi (di atas 400 rpm). Untuk bahan
bakar distilat (distillate
fuel), nilai kualitas pengapian diukur dengan cetane number.
4.
Kandungan air
Air yang terkandung di dalam HFO dapat berasal dari berbagai
sumber dan bisa berupa air biasa atau bahkan air laut. Air juga dapat
dihasilkan dari kondensasi yang terjadi di dalam tangki
penyimpanan. Semakin tinggi
kandungan air dapat
menyebabkan penurunan
kandungan energi pada
bahan bakar tersebut,
yang nantinya akan
mengakibatkan
peningkatan jumlah konsumsi bahan bakar. Bila HFO terkontaminasi dengan air
laut, maka klorin di garam dapat menyebabkan korosi pada sistem bahan bakar,
termasuk sistem injeksi bahan bakar. Air laut dapat menjadi penyebab masalah,
deposit, dan korosi terutama pada area bertemperatur tinggi.
Mikroba yang berkembang pada HFO
Solusi
jangka pendek untuk mencegah pertumbuhan mikroba di HFO, yang biasanya bersifat
korosif, adalah dengan penambahan kimia
“biosida”. Solusi yang lebih baik untuk jangka panjang adalah dengan
menguras bagian bawah tangki secara berkala agar air yang merupakan sumber
pertumbuhan mikroba dapat tereliminasi dari HFO.
5.
Sulfur
Sulfur dioksida yang mengakibatkan polusi udara
Sulfur
yang terkandung di dalam HFO dapat mengakibatkan korosi temperatur rendah (cold corossion) dan keausan
korosi, terutama saat operasi dengan beban rendah. Sulfur juga berkontribusi
menghasilkan deposit pada
sistem exhaust, biasanya
bersama dengan vanadium dan/ atau sodium dalam bentuk sulfat (sulphates). Depositnya
juga dapat mengakibatkan korosi temperatur tinggi.
6.
Kandungan abu (ash)
Komponen
abu yang terdapat dalam HFO antara lain:
dan
silikon oksida berasal
dari proses penyulingan
dan dapat
menyebabkan keausan abrasif
utamanya pada pompa injeksi dan nosel, dan bisa juga terjadi pada liner silinder dan ring piston.
Separasi bahan bakar yang efisien harus dilaksanakan agar mencegah keausan pada
komponen mesin
Vanadium dan
sodium oksida, utamanya sodium vanadyl
vanadates, terbentuk
selama proses pembakaran, dan
akan bercampur atau bereaksi dengan oksida dan vanadates
dari komponen abu
lain (seperti nikel, kalsium,
silikon, dan sulfur). Campuran tersebut
dapat membentuk deposit
pada katup exhaust atau
pada turbocharger. Deposit
ini bersifat sangat
korosif dan dapat
merusak lapisan pelindung oksida (seperti pada
katup exhaust) sehingga
mengakibatkan korosi
temperatur tinggi dan
terbakarnya katup. Deposit dan korosi temperatur tinggi pada turbocharger, khususnya
pada ring nosel dan sudu turbin, akan mengakibatkan penurunan efisiensi turbocharger.
Sistem
udara masuk akan ikut terganggu karena kurangnya udara inlet, sehingga beban
termal mesin menjadi meningkat. Bentukan deposit ini akan menjadi semakin
banyak sejalan dengan meningkatnya temperatur dan output mesin.
7.
Kandungan residu karbon
Kandungan
residu karbon yang tinggi akan mengakibatkan pembentukan deposit di dalam ruang
bakar dan pada sistem udara exhaust,
terutama pada saat pembebanan rendah.
8.
Kandungan aspal (asphaltene)
Kandungan
aspal dapat menyebabkan pembentukan deposit pada ruang bakar dan pada sistem exhaust,
terutama pada beban rendah.
Kandungan aspal yang tinggi mengindikasikan bahwa bahan bakar
sulit mengalami pengapian dan terbakar dengan lambat.
Bila
HFO tidak stabil, kandungan aspal akan mengendap dari bahan bakar dan akan
membuat filter menjadi buntu dan/ atau menghasilkan deposit di sistem bahan
bakar, dan juga bisa menghasilkan bentukan lumpur di separator bahan bakar.
Lebih jauh lagi, saat beroperasi menggunakan HFO berkandungan aspal tinggi,
minyak pelumas dituntut berkinerja baik. Hal tersebut menjadi penting agar
minyak pelumas mampu mengikat residu pembakaran yang mengandung aspal.
9.
Titik nyala
Titik
nyala yang rendah tidak akan berpengaruh pada proses pembakaran, tapi bahan
bakar akan lebih berbahaya untuk ditangani dan disimpan. Dan akan lebih
berbahaya bila pour
point bernilai tinggi,
yang memerlukan pemanasan
HFO, sehingga temperaturnya bisa
mendekati titik nyalanya. Pour point adalah
titik temperatur dimana bahan
bakar tidak dapat dialirkan.
penguapan
yang tinggi (yang biasanya
mengindikasikan titik nyala
yang rendah) dapat juga menyebabkan kavitasi dan kantong udara di dalam
pipa bahan bakar.
10.
Kandungan sedimen
Semua
HFO mengandung sedimen dalam jumlah tertentu yang dapat berupa organik dan
anorganik. Jumlah total sedimen
(analisis TSP) menunjukkan kebersihan bahan bakar (keberadaan pasir,
karat, kotoran, butir katalis, dan kontaminan anorganik/ padat lainnya),
stabilitas bahan bakar (ketahanan pada kerusakan dan adanya endapan aspal), dan
kompatibilitas terhadap bahan bakar dengan kualitas berbeda.
Standar Komposisi HFO
Terdapat
beberapa komposisi HFO standar yang diamati pada tulisan ini. Masing-masing
berasal dari beberapa literatur yang berbeda dan merupakan hasil dari metode
pengukuran yang mungkin berbeda, namun seluruhnya nanti akan dibandingkan
dengan komposisi HFO aktual pada bagian analisis dan pengamatan.
1.
|
Standar
batas dari buku manual SWD 9TM 620
|
|
|
|
|
Batas
nilai HFO bunker
|
|
|
Properti
|
Nilai
|
Satuan
|
Viskositas
pada 50° C
|
|
Maks.
700
|
mm2/
s
|
Massa
jenis pada 15° C
|
|
Maks.
0,991
|
g/
ml
|
Kandungan
air
|
|
Maks.
1,0
|
%volume
|
Kandungan
sulfur
|
|
Maks.
5,0
|
%massa
|
Kandungan
abu
|
|
Maks.
0,2
|
%massa
|
Kandungan
vanadium
|
|
Maks.
600
|
mg/
kg
|
Kandungan
sodium
|
|
Maks.
100
|
mg/
kg
|
Residu
karbon
|
|
Maks.
22
|
%massa
|
Kandungan
aspal
|
|
Maks.
14
|
%massa
|
Flash
point
|
|
Min.
60
|
°C
|
Pour
point
|
|
Maks.
30
|
°C
|
Kandungan
aluminium + silikon
|
|
Maks.
80
|
mg/
kg
|
Sedimen
total
|
|
Maks.
0,1
|
%massa
|
2.
|
Spesifikasi
standar dari Pertamina
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Batasan
|
Metode
Pengujian
|
|
No
|
Properti
|
Satuan
|
|
|
|
|
|
|
|
Min
|
Maks
|
ASTM
|
IP
|
1 Specific gravity 60
|
|
-
|
-
|
0.990
|
D-1298
|
|
60°
F
|
|
|
|
|
|
|
|
2 Viskositas redwood 1
|
Secs
|
400
|
1250
|
D-445
*)
|
IP
70
|
100°
F
|
|
|
|
|
|
|
3 Pour point
|
|
°F
|
-
|
80
|
D-97
|
|
|
4 Calorific value gross
|
BTU/
lb
|
18000
|
-
|
D-240
|
|
5 Kandungan sulfur
|
|
%
wt
|
-
|
3.5
|
D-1551/1552
|
|
6 Kandungan air
|
|
%
vol
|
-
|
0.75
|
D-95
|
|
7 Sedimen
|
|
%
wt
|
-
|
0.15
|
D-473
|
|
|
8 Strong acid number
|
mgKOH/
gr
|
-
|
Nil
|
|
|
|
9 Flash point P.M.c.c
|
°F
|
150
|
-
|
D-93
|
|
10 Conradson carbon
|
|
%
wt
|
-
|
14
|
D-189
|
|
residu
*)
Kinematic Viscosity Conversion specifications according to Oil
and Gas Director General Decree
No.003/P/DM/MIGAS/1986.
14 April 1986.
3.
|
|
Standar
batas dari artikel buletin Wartsila (tahun 2004)
|
|
|
|
|
Properti
|
Satuan
|
HFO
I
|
HFO
I
|
HFO
II
|
HFO
II
|
Metode
|
|
|
Bunker
|
Mesin
|
Bunker
|
Mesin
|
Pengujian
|
Viskositas,
|
mm2/s
|
730
|
730
|
730
|
730
|
ISO
3104
|
maks.
|
50°
C
|
|
|
|
|
|
Massa
jenis,
|
kg/
m3
|
991
|
991
|
991
|
991
|
ISO
3675
|
maks.
|
15°
C
|
|
|
|
|
atau
12185
|
Air,
maks.
|
%volume
|
1,0
|
0,3
|
1,0
|
0,3
|
ISO
3733
|
MCR,
maks.
|
%massa
|
15
|
15
|
22
|
22
|
ISO
10370
|
Aspal,
maks.
|
%massa
|
8
|
8
|
14
|
14
|
ASTM
D 3279
|
Flash point,
|
°C
|
60
|
60
|
60
|
60
|
ISO
2719
|
min.
Pour point,
|
°C
|
30
|
30
|
30
|
30
|
ISO
3016
|
maks.
|
|
|
|
|
|
|
Sedimen
|
%massa
|
0,1
|
0,1
|
0,1
|
0,1
|
ISO
10307-2
|
total,
maks.
|
|
|
|
|
|
|
Sulfur,
maks.
|
%massa
|
2,0
|
2,0
|
5,0
|
5,0
|
ISO
8754
|
Abu,
maks.
|
%massa
|
0,05
|
0,05
|
0,20
|
0,20
|
ISO
6245
|
Vanadium,
|
mg/
kg
|
100
|
100
|
600
|
600
|
ISO
14597
|
maks.
Sodium,
|
mg/
kg
|
50
|
30
|
100
|
30
|
ISO
10478
|
maks.
Aluminium
+
|
mg/
kg
|
30
|
15
|
80
|
15
|
ISO
10478
|
silikon,
maks.
CCAI,
maks.
|
850
|
850
|
870
|
870
|
ISO
8217
|
Sistem HFO pada PLTD Trisakti Banjarmasin
UNLOADING PUMP MFO
STORAGE
TANK MFO
|
STEAM
SYSTEM (existing)
|
TRANSFER PUMP
SETTLING
TANK
|
BURNER
THERMAL OIL HEATER
|
SEPARATOR MODULE OIL SUPPLY
SERVICE
TANK BOOSTER MODULE
|
OIL
RETURN
|
MIXING
TANK
ENGINE
Diagram blok sistem HFO PLTD Trisakti
Sistem
HFO pada PLTD Trisakti terdiri dari:
1. Storage
tank
Tempat penampungan HFO dengan kapasitas yang harus mampu
menyimpan bahan bakar dalam jangka waktu tertentu sesuai waktu pengiriman bahan
bakar. Storage tank
dipanaskan oleh heater dengan temperatur HFO dipertahankan pada 45 - 55° C.
2.
Transfer pump
SEIRING PENGALAMAN KAMI PADA KAPAL LAUT YANG MESIN UTAMANYA MENGUNAKAN BAHAN BAKAR HFO SEBELUM MASUK KEMESIN DIPANASI 90-100 DERAJAT CELCIUS.
BalasHapusKALAU BOLEH KAMI TANYA BERAPA SUHU TERBAIK UNTUK BAHAN BAKAR HFO DAN BERAPA SUHU TERBAIK UNTUK BAHAN BAKAR MFO SEBELUM MASUK KE MESIN
Suhu yang baik pada minyak jenis HFO adalah: tergantung dari maker engine menganjurkan pada viscosity berapa (Cst) minyak HFO di gunakan untuk mesin tersebut,dengan mengetahui berapa nilai viscosity dari hasil lab maka kita dapat menentukan berapa derajat temperatur / suhu yang kita gunakan untuk memanasi minyak HFO tersebut.
BalasHapus